Dalam hadits diatas, Rasul memerintahkan para pemuda yg mampu (ba’ah) agar menikah. Artinya, bagi para pemuda sudah mampu untuk ba’ah, maka saat itulah saat yg tepat baginya untuk meminang (khitbah). Adapun maksud kata ba’ah dalam hadits di atas, dalam buku Risalah Khitbah-nya Yahya Abdurrahman menjelaskan bahwa para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat. Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian.
Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yg mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Sebaliknya, siapa saja yg tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka baginya hendaklah berpuasa.
Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi-dalam Syarh Sahih Muslim, ix/173—ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yg fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yg menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
As-Suyuthi –dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-nasa’i, iv/171- juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa tidak dapat dihindari bahwa kata mampu dalam hadits diatas adalah berbeda. Maksud kata mampu yg pertama adalah siapa di antara kalian yg mampu jimak (bersetubuh) –telah baligh dan mampu bersetubuh—hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yg kedua –“siapa saja yg tidak mampu”—yakni tidak mampu menikah (tapi mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”. Asy-Sywkani –dalam Nayl Al-Awthar, vi/229—juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yg kedua –“siapa yg tidak mampu menikah”—adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan & karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa.
Makna “mampu menafkahi” ini sejalan atau memperkuat makna al-ba’ah sebagai beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw memerintahkan kepada siapa saja yg memiliki kesanggupan untuk menikah & memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah. Atau siapa saja yang memiliki rasa percaya diri atau memiliki dugaan kuat bahwa dirinya mampu memikul tanggung jawab pernikahan maka hendaknya ia menikah.
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa kesiapan itu adalah jika siap secara materi. Artinya ia sudah memiliki materi utk membiayai pernikahannya dan sudah memiliki pekerjaan yg mantap. Orang yg memiliki anggapan demikian, hanya akan menikah kalau merasa sudah cukup secara materi.
Anggapan mengenai kecukupan materi seperti itu memang baik. Yg kurang tepat adalah penempatannya. Yaitu bahwa jika belum memiliki pekerjaan yg mapan, belum punya ini dan itu, lalu tidak menikah. Ini adalah penempatan yg kurang tepat. Memang akan sangat baik jika seseorang ketika menikah memiliki persiapan materi yg cukup, sudah punya pekerjaan atau sumber penghasilan yg mapan. Namun tidak harus seperti itu.
Dalil-dalil yg ada juga menunjukkan bahwa yg dimaksud dgn kesiapan untuk menikah bukanlah demikian. Bukan berarti seseorang itu harus memiliki persiapan materi yg cukup. Banyak riwayat yg menjelaskan bahwa sahabat tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, atau kalaupun ada, jumlah atau nilainya sangat kecil.
Tidak ada atau sangat sedikitnya harta yg dijadikan mahar oleh para sahabat mengindikasikan bahwa para sahabat memang tidak memiliki harta (yg berlebih). Sekalipun demikian, para sahabat tetap dianjurkan menikah & dibolehkan menikah. Dgn demikian, kesiapan yg dimaksud bukan berarti harus kesiapan materi atau harta yg cukup.