Dunia yang kita tinggali kini menawarkan kesenangan dan harapan. Saking kita asyik dan terlena mengejar dunia, tiba-tiba kita terhentak sadar bahwa usia kita tengah menuju akhir. Ibarat petang digantikan senja. Celakanya, bekal yang dikumpulkan selama hidup, entah mencukupi ataukah tidak untuk kehidupan selanjutnya yang kekal abadi.
Hiruk pikuk kota metropolitan, dimana manusia bekerja, banting tulang serta memeras keringat, untuk memperebutkan bagian sedikit dunia. Berangkat ke kantor, setelah Subuh. Tidak melihat terik cahaya matahari. Pulang kantor pun sama, tidak sempat menyapa mentari, larut malam. Shalat berjamaah bersama keluarga dan masyarakat menjadi ritual yang sangat mahal, begitupula bercengkerama dengan anak dan saudara. Semuanya termaafkan dengan kata “mencari nafkah”. Meski terkadang lupa, apakah mencari nafkah itu sudah diniatkan secara tulus untuk beribadah atau hanya sekadar mengejar nafsu dunia.
Lagi-lagi kita terlena, hingga kita baru tersadar, bila ajal menjemput kita saat di tempat kerja, ketika usia masih produktif. Ternyata, yang membersamai kita selama ini dalam mengejar dunia, bos di kantor, rekan-rekan kerja, rekanan bisnis hanya akan sekadar mengirim karangan bunga ke rumah duka. Tidak ada yang kehilangan ditinggal oleh kita. Posisi kita serta merta akan diganti dengan orang baru. Begitupula dengan jasa serta pengorbanan kita terhadap pekerjaan. Lambat laun akan dilupakan. Lalu kita seorang diri meratapi dalam kubur yang sempit, miskin amal dan fakir doa. Anak yang ditinggalkan bahkan tidak mengetahui bagaimana tata cara mendoakan orang tua mereka. Sejatinya, bangkutlah kita!
Itulah rekan dunia. Hanya membersamai kita dalam aktivitas dunia. Setelah kita berpindah ke dunia yang lain, semuanya berubah. Berbeda dengan sahabat akhirat. Mereka yang senantiasa membersamai dalam kehidupan dunia, namun terus mengingatkan bekal kita diakhirat, sesibuk apapun kita dengan rutinitas dunia. Sahabat yang senantiasa mengingatkan ibadah shalat wajib berjamaah, dhuha, qiyamul lail, tilawah Al-Quran, bahkan tidak jarang memfasilitasi kita dalam bersedekah, wakaf dan amal jariyah. Bahkan disela-sela kesibukkan kita, sahabat ini meluangkan waktu untuk mengajak kita hadir dalam majelis-majelis dzikir, taklim dan dakwah. Ternyata, sahabat akhirat inilah yang terus membersamai kita saat ajal mendatangi kita. Ia memandikan, mengkafani, menshalatkan hingga mengantar kita pada tempat peristirahatan terakhir, sementara rekan dunia hanya mewakilkan kehadiran mereka dengan rangkaian bunga.
Sesibuk apapun kita, senantiasalah mentautkan hati kita untuk berkomunitas dengan sahabat-sahabat yang memiliki orientasi jauh ke depan, cara pandang lintas batas, yaitu akhirat, sebagaimana Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita dalam Hadist Riwayat Muslim, “Teman yang baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat Allah, mendengar kata-katanya menambah ilmu agama, melihat gerak-geriknya teringat mati”. Wallahu’alam bishawwab