Masih Perlukah Menyombongkan Diri?

0
1575

Seringkali manusia dihadapkan pada paradoks dalam memahami konsep dirinya. Ia mengaku sebagai makhluk lemah, tempat bermuaranya khilaf dan dosa, dan memiliki keterbatasan yang harus dipahami. Namun disaat yang berbeda, manusia bisa menampilkan sosok yang intelektual, serba bisa bahkan perkasa sehingga ia lupa akan keterbatasannya. Dalam kehidupan keseharian, kita sering menemukan tipe manusia yang seperti ini, merasa serba tahu, meski hanya pada tataran permukaan, tidak mendalam, berkuasa, memiliki akses pada ekonomi dan politik. Bila tidak hati-hati, maka tidak jarang, tipe manusia seperti ini akan menjelma menjadi manusia sombong.
Dalam satu hadist riwayat Muslim, Rasulullah Saw secara tegas mencirikan kesombongan sebagai “al kibru batrul haq wa ghamtunnash” yaitu tidak menerima kebenaran dan menghina manusia. Inilah sejatinya makna sombong. Kebenaran Islam datang saat Rasulullah Saw membawa risalahNya, memperjelasnya dengan sunnahnya, lalu manusia masih saja menolak apa yang Rasulullah Saw bawa, maka itulah kesombongan yang nyata.
Sejarah peradaban manusia memperlihatkan kepada kita bahwa kesombongan selalu hancur. Kisah Namruz yang menolak ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s, berakhir dengan kehancuran. Padahal Namruz direpresentasikan sebagai raja dunia yang sangat powerful. Ia bahkan mentahbiskan dirinya sebagai tuhan yang layak di sembah. Meski Nabi Ibrahim a.s telah memberikan argumentasi yang cerdas, yang berakhir dengan dibakarnya Ibrahim oleh Namruz sebagai wujud malu dan sombongnya, seketika itu, Allah Swt menghancurkan Namruz dan kekuasaannya.
Kisah sama hadir dalam peradaban Mesir. Firaun dengan kekuasaan yang tak terbatas, lagi-lagi sebagaimana Namruz, menyatakan dirinya sebagai Khalik yang harus disembah tanpa syarat. Allah Swt mengirimkan Nabi Musa a.s untuk mengingatkan Firaun. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, setelah penolakan terhadap kebenaran yang disampaikan Nabi Musa a.s, Firaun ditenggelamkan. Dua kisah ini sejatinya menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita. Kesombongan bukanlah sifat yang harus dimiliki manusia. Bahkan dalam hadist Qudsi riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah dan Ahmad, Allah berfirman, “Keagungan adalah pakaianKu. Kesombongan adalah selendangKu. Barangsiapa yang mencabutnya dariKu, maka Aku akan mengazabnya.”
Barangkali secara tidak sadar kita menunjukkan rasa tinggi hati diakibatkan pujian yang kita terima, kesuksesan yang didapatkan atau bahkan kekuasaan dan harta yang kita miliki. Karenanya, untuk mereduksi rasa sombong yang mungkin muncul, maka kita harus membiasakan mengucapkan “Alhamdulillah” bila mendapatkan pujian dan mengucapkan “biidznillah” dengan ijin Allah atas setiap kesuksesan yang kita peroleh. Tanpa ijin Allah Swt, sejatinya mustahil manusia mendapatkan apa yang ia cita-citakan.
Bila Namruz dan Firaun yang memiliki harta melimpah, kekuasaan yang sangat luas ditambah pula kecerdasan yang melampaui manusia di jamannya tetap tidak diperkenankan sombong, lalu bagaimana dengan kita yang harta bendanya tidak sebanyak Namruz dan Firaun, kekuasaan apalagi, bukan siapa-siapa di jaman ini, tidak dikenal? Nampaknya tidak ada alasan yang pantas untuk bersombong.
Merujuk pada hadist Rasulullah saw pada bagian awal tulisan ini, penolakan terhadap aturan dan hukum Allah Swt, atau bahkan mempertanyakan informasi ghaib yang secara faktual telah tertulis dalam Al-Quran dan hadist sebagai sebuah ramalan, bukan sesuatu yang wajib di imani, maka penolakan tersebut merupakan indikasi nyata sifat sombong telah hadir dalam diri kita. Karenanya, kita patut beristigfar dan bertaubat kepada Allah Swt.
Allah menyindir dan tidak menyukai orang-orang yang meragukan perkara ghaib (akhirat) sebagaimana Allah berfirman,
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), dan mereka adalah yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa Allah Mengetahui apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang sombong” (Q.S. An-Nahl 16:22-23).
Dalam ayat selanjutnya, Allah memberikan perumpamaan orang-orang sombong yang telah melakukan tipu daya bagaikan orang-orang yang tertimpa bangunan yang ia buat sendiri akibat perbuatan yang ia lakukan. Allah berfirman,
“Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari” (QS. An-Nahl 16:26).
Lalu masih layakkah kita untuk menyombongkan diri?

Comments

comments