NASIHAT CINTA UNTUK PARA PEMIMPIN

0
1846

Contoh nyata bagaimana penguasa atau pejabat muslim dalam menjalankan tanggung jawabnya—guna mewujudkan apa yang disebut sebagai good governance dan clean government—pernah diaplikasikan oleh Rasulullah Saw dan shahabatnya. Pada prinsipnya, Ada sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh para pejabat muslim sebagai tanggung jawabnya kepada Allah Swt sehubungan dengan kedudukannya sebagai pemerintah (umara’) dan dalam keitannya dengan rakyat yang dipimpinnya.

Dalam pandangan Islam seorang penguasa (pejabat) harus memiliki karakter dasar pemimpin, yaitu berkepribadian kuat (strong personality), bertaqwa, rifq (lemah lembut, santun) terhadap rakyat, untuk selalu mubasyir (penggembira) dan tidak menjadi seorang munaffir (bersikap arogan, suka menghardik, serta membuat kebencian rakyat).

Kuat adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang penguasa. Orang yang lemah tak layak menjadi penguasa. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar r.a yang berkata : “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, mengapa anda tak mengangkatku sebagai pejabat ?’ Rasulullah saw menepuk pundakku lalu beliau bersabda : “Hai Abu Dzar, sesungguhnya anda seorang yang lemah sedangkan jabatan itu adalah amanah dan jabatan—yang tak dilaksanakan dengan amanah—itu akan menjadi kehinaan dan sesalan di hari kiamat kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan haq (proses pengangkatan yang benar) dan melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam jabatan tersebut”.

Yang dimaksud dengan sifat kuat bagi seorang penguasa tentunya adalah kuat kepribadiannya, baik kuat cara berfikirnya (aqliyyahnya) maupun cara pengendalian keinginan-keinginan hawa nafsunya (nafsiyyahnya). Seorang penguasa muslim mesti memahami berbagai urusan pemerintahan dan berbagai hubungan sosial politik dalam perspektif Islam. Juga dia harus bisa mengendalikan diri sebagai seorang pemimpin dalam perspektif Islam.

Kepribadian yang kuat memungkinkan seorang pemimpin berkuasa dan mengendalikan. Oleh karena itu, ia harus membebaskan diri dari tindakan pengendalian yang buruk. Untuk itu dia harus memiliki sifat taqwa, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam memelihara urusan umat. Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya yang berkata: “Adalah Rasulullah Saw bila mengangkat seorang amir jaisy (komandan perang), beliau Saw menasihati amir itu agar bertaqwa dan bersikap baik kepada kaum muslimin yang berjuang bersamanya (menjadi bawahannya)” .

Penguasa yang senantiasa bertaqwa dan takut serta waspada kepada Allah, baik dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan akan menjauhkan dirinya dari sikap-sikap kediktatoran kepada rakyatnya. Namun demikian sifat taqwa itu tidak berarti menghalanginya dari sikap keras. Sebab ia selalu merasa diawasi Allah dan terikat dengan perintah dan larangan Allah. Lantaran tabiat alamiah seorang penguasa itu keras maka syari’at memerintahkannya untuk bersifat rifq (lemah lembut) dan tidak mempersulit urusan rakyat. Diriwayatkan dari isteri Rasulullah Saw. Aisyah r.a. berkata : “Aku mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini : ‘Ya Allah, siapa saja yang berwenang atas urusan pemerintahan umatku lalu mempersulit urusan mereka, persulitlah urusan dia (di akhirat). Dan siapa saja yang memegang urusan pemerintahan umatku lalu dia bersikap lemah lembut, maka santunilah dia.’” (HR. Muslim).

Rasulullah Saw memerintahkan kepada para pejabat muslim untuk menjadi mubassyir (menggembirakan) bukan munaffir (penghardik yang menjengkelkan). Diriwayatkan hadist dari Abu Musa yang berkata: “Adalah Rasullullah Saw jika beliau Saw mengutus salah seorang shahabatnya menjadi pejabat daerah/wilayah, beliau Saw bersabda : ‘Gembirakanlah jangan engkau hardik. Dan mudahkanlah jangan engkau persulit’” (HR. Muslim).

Itulah karakter dasar yang harus dimiliki oleh seorang penguasa atau pejabat muslim. Dalam kaitannya dengan tugas memimpin dan memelihra urusan rakyat, seorang pejabat atau penguasa muslim harus mesti memiliki karakter atau sifat-sifat sebagai berikut. Pertama, menasehati rakyat. Kedua, tidak menyentuh harta milik umum (rakyat). Ketiga, memerintah kaum muslimin dengan Islam semata.

Allah SWT mengharamkan seorang penguasa muslim yang tidak menasehati rakyatnya dan menipu umat. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar yang berkata: “Aku mendengar Nabi bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang memberinya tanggung jawab Allah pilih dia untuk memelihara urusan rakyat lalu dia tidak menasehati mereka melainkan dia tak menemukan (menghirup) angin surga.” (HR. Bukhari).

Diriwayatkan dari Abu Said yang berkata: bersabda Rasulullah Saw : “Setiap pengkhianat pada hari kiamat (maksudnya di padang makhsyar) memiliki bendera yang akan menjulang tinggi sesuai dengan tingkat pengkhianatannya. Ketahuilah tak ada pengkhianatan yang paling besar pengkhianatannya daripada pemimpin rakyat (yang berkhianat).”

Bersusah payah dalam mengurus urusan rakyat dan menasehati rakyat sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw kepada para pejabat sebagai bagian dari tanggung jawab mereka. Tidak menyentuh harta milik umum adalah karakter pejabat yang diwanti-wantikan oleh Rasulullah Saw. Diriwayatkan suatu hadits dari Abu Humaid As Sa’id bahwa Nabi Saw menunjuk Ibnu Latabiyyah sebagai pejabat yang berwenang untuk mengambil pembayaran zakat Bani Sulaim. Suatu ketika dia mendatangi Rasulullah Saw melaporkan hasil tugasnya. Ia berkata: “Ini untuk Anda (negara) dan ini untuk hadiah yang mereka hadiahkan kepadaku (pribadi)”. Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Kenapa anda tidak duduk di rumah bapak-ibumu saja sehingga datang hadiah anda jika anda adalah orang yang benar?” Rasulullah pun bangkit dan berpidato di hadapan orang banyak. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah beliau Saw bersabda: “Amma Ba’du. Sesungguhnya aku telah menunjuk sejumlah orang diantara kalian untuk menjadi pejabat pada sejumlah urusan yang telah Allah kuasakan kepadaku. Lalu salah seorang dati kalian yang menjabat itu datang kepadaku sambil berkata: ‘Ini untuk anda (negara) dan ini hadiah untuk saya (pribadi). Kenapa dia tidak duduk-duduk di rumah bapak-ibunya saja hingga hadiah tersebut datang jika dia seorang yang benar ?. Demi Allah, tidak salah seorang (pejabat) dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan pada hari kiamat dia akan datang dengan membawanya.” (HR. Bukhari).

Jabatan Adalah Amanah
Dalam pandangan Islam jabatan pemerintahan bukanlah lahan rezeki atau kunci pembuka simpanan kekayaan. Jabatan tersebut justru merupakan amanah yang sangat berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kalau tidak dilaksanakan dengan sebenar-benarnya justru akan menjadi kehinaan dan sesalan di hari akhirat. Rasulullah Saw bersabda : “Ketahuilah setiap kalian adalah penggembala (pemimpin) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (orang-orang yang dipimpinnya). Dan Imam yang memimpin kaum muslimin adalah penggembala (pemimpin) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (THR. Bukhari).

Oleh karena itu jabatan pemerintahan bagi kaum muslimin bukanlah posisi yang sangat diharap-harapkan, apalagi diperebutkan. Dan tidak ada konsekuensi perbedaan fasilitas plus kekayaan dalam diri pejabat muslim terhadap rakyat yang dipimpinnya. Tidak ada privilage tertentu. Maka tatkala Abu Bakar r.a setelah pelantikannya sebagai khalifah keesokan harinya tetap mendukung bungkusan kain untuk dijual di pasar sebagai layaknya pada hari-hari sebelum ia menjadi khalifah. Umar yang menemuinya di tengah jalan pun mencegahnya dan meminta beliau mengkosentrasikan diri dalam jabatannya. Beliau (Abu Bakar) mendapatkan ta’dwidl (imbalan) dari baitul maal secukupnya buat menutupi biaya hidup keluarganya. Dan tatkala wafat, beliau meminta putrinya Aisyah r.a mengembalikan kelebihan hartanya sejak ia diangkat sebagai khalifah kepada baitul maal, yaitu berupa seekor keledai pengangkut air, sebuah tong besar tempat menaruh susu, dan sehelai baju yang biasa dipakai untuk menerima utusan. Tatkala melihat harta itu dan mendengar Abu Bakar r.a Umar bin Khaththab yang menjadi khalifah berikutnya menangis dan berlinang air mata. Ia berkata : “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar. Sungguh ia telah memberatkan orang-orang (para pemimpin) yang di belakangnya.” (lihat karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Khalid .M Khalid, hal. 104).

Dengan sikap amanah seperti itu secara teoritis maupun praktis pemerintahan yang bersih akan sangat bisa diwujudkan. Konsistensi mereka terhadap Islam dan ketaqwaan mereka kepada Allah, disamping sikap-sikap lain yang menjadi tanggung jawab pejabat muslim telah mewujudkan hal itu. Lihatlah tatkala Abdullah bin Rawahah diutus Rasulullah Saw untuk mengambil pungutan hasil tanaman warga Yahudi di Khaibar, mereka hendak menyerahkan sejumlah perhiasan yang mereka kumpulkan dari isteri-isteri mereka seraya minta “discount” dari pembayaran hasil pertanian yang ditetapkan negara. Pejabat Rasulullah ini justru jengkel. Beliau berkata: “Hai Kaum Yahudi, demi Allah kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kailan perbuat itu justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram dan kami kaum muslimin tidak memakannya.” Mendengar jawaban tersebut orang-orang Yahudi menyahut: “Karena (sikap) itulah langit dan bumi tegak!” (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa, 1450). Wallahu’alam bishawwab

Comments

comments

SHARE
Previous articleGAGAL HIJRAH, LALU?
Next articleUntukmu yang katanya lelaki sejati
mm
Penulis adalah penggiat literasi, sekaligus pendidik. Doktor bidang Ilmu Pendidikan ini memiliki visi memberdayakan pendidikan dengan pola pikir Islam. Bermoto Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Hidup untuk Yang Maha Hidup.