MEMBANGUN MENTAL KAYA

0
2951

Jaman serba instan meniscayakan gaya hidup mewah. Ironisnya, gaya hidup mewah ini terkadang tidak menyesuaikan dengan kondisi sejatinya. Pamer harta, ingin dipandang modern dengan barang-barang serba bermerk. Meski untuk memenuhi itu semua, ia harus membayarnya melalui hutang. Gaya hidup gali lubang tutup lubang terjadi. Cicilan kartu kredit satu, dibayar dengan kartu kredit lain. Dipastikan, hanya menunggu waktu ke jurang kebangkrutan. Tidak jarang, seiring dengan kebangkrutan, orang-orang terlilit utang, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ujungnya, yang menanggung aib, bukan hanya dirinya sendiri, melainkan orang tuanya, keluarganya, anak-istrinya. Bagaimana upaya agar tidak terjerumus dalam mental buruk ini?

Pertama, kita diingatkan pada jawaban Rasulullah saat ditanya oleh shahabat r.a “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah saw bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari” (HR. Bukhari No. 2397). Hadist ini mengisyaratkan pada kita bahwa berhutang jangalah menjadi sebuah kebiasaan (habit) bahkan terlebih menjadi gaya hidup. Berhutang sebaiknya dijadikan the very last choice, pilihan yang sangat terakhir dan disaat tidak ada lagi alternatif lain. Bila pun pada akhirnya kita terpaksa berhutang, maka secepatnya ia dilunasi. Jangan sampai muncul sifat nyaman dalam berutang. Perlu dibangun mental bahwa berhutang adalah aib, tidak nyaman dan takut bila sewaktu-waktu ajal datang sementara hutang belum dilunasi. Merujuk hadist di atas, bisa disimpulkan bahwa hutang dapat menjadi pintu masuk dosa-dosa yang lain seperti dusta dan ingkar.

Kedua, kita harus mampu membedakan apa itu “kebutuhan” dan “keinginan”. Bila dahulu, guru ekonomi kita saat di sekolah menjelaskan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas, maka justru kita harus berpikir terbalik. Pemenuhan kebutuhan manusia itu terbatas. Bila ia lapar, pemenuhan hajjatun udlawiyyahnya cukup dengan makan. Bila satu piring makanan kurang, maka tambah menjadi dua dan seterusnya. Pasti terdapat titik dimana ia kenyang. Masalah dengan menunya, makannya apa, di restauran atau di warung, mau harga makanan yang di atas seratus ribu atau di bawah, itu adalah selera. Selera identik dengan keinginan. Keinginan inilah yang perlu dikendalikan. Keinginan inilah yang harus disesuaikan dengan kemampuan kita. Bukankah kenyang di restauran mahal sejatinya sama dengan rasa kenyang di warung pinggir jalan? Ketidakmampuan mengendalikan keinginan yang tidak dibarengi dengan kemampuan yang memadai menjerat seseorang pada hutang.

Ketiga, kita perlu mendefinisikan kembali rasa malu, aib dan ketidakhormatan. Seringkali dengan masifnya gaya hidup hedonis, rasa malu atau bahkan aib di drive (dimunculkan) oleh harta benda. Pergi ke undangan di gedung, sementara kita menggunakan motor, itu menimbulkan rasa malu, rasa aib. Mendekati calon mertua, nampaknya hina bila datang hanya diantar oleh Pak Ojek, atau naik angkot. Lalu mulailah membuat “drama” seolah-olah mobil rentalan itu menjadi mobil pribadi. Bangga dengan penghasilan yang besar, tanpa memperhatikan apakah sumber penghasilan itu berkah. Bahkan tidak jarang ada yang sampai mencipta karangan seolah-olah ia seorang pengusaha sukses, berpenghasilan melimpah. Ternyata, saat menikah ia hanya seorang yang tidak jelas pekerjaannya. Seharusnya kita membuat narasi malu dengan definisi yang lebih terhormat. Bukan malu karena tidak memiliki kendaraan, tetapi harus malu bila kendaraan itu hasil dari leasing ribawi. Bukan malu tidak memiliki penghasilan besar, justru harus malu bila ia akan menghidupi anak istrinya nanti dengan uang yang tidak halal. Bukan malu karena ia bukan siapa-siapa, tetapi malu bila hidupnya dipenuhi oleh hoax, pencitraan dan kebohongan. Mulailah membangun rasa malu bila seluruh tindakan kita menyelisihi perintah Allah Swt dan Rasulullah saw. Mulailah merasa malu bila untuk mengawali hidup saja kita sudah memulai dengan berbohong. Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan-kebohongan lainnya. Sebaliknya, bangunlah jati diri terhormat, yaitu jati diri yang senantiasa on the track dengan ketentuan Allah swt dan RasulNya.

Terakhir, dalam hukum tarik menarik (law of attraction), dinyatakan bahwa apa yang kita pikirkan maka itu yang akan menjadi kenyataan. Maka, bila kita berkeinginan untuk menjadi kaya, maka bangunlah dulu mental kaya. Cara membangun mental kaya adalah dengan mendahulukan sesama manusia dibandingkan dirinya sendiri, think of others then self. Prioritaskan memberi, bukan diberi (give and given). Pikirkan selalu bahwa Allah pasti menjamin kehidupan dan rizki kita secara melimpah, sehingga lakukan segala hal yang itu akan dicintai Allah Swt. Dengan keyakinan bahwa jika Allah Sang Pemilik Kekayaan yang ada di langit dan di bumi sudah mencintai hambaNya, maka demi Allah, adalah mudah bagiNya untuk memberi apapun yang diminta hambaNya dengan caraNya, baik dengan banyak perantaraan dan bahkan tanpa perantara. Yakinlah! Wallahu’alam bishawwab

Comments

comments