Di saat teman kita mengalami musibah, cobaan, kehilangan atau kabar kurang baik lainnya, sejurus itu kita mengucapkan “sabar”, “ikhlaskan”. Begitu juga, saat kekecawaan menyapa kita. Apa yang kita harapkan, inginkan atau ekpektasi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, maka dua kata itu meluncur deras dari rekan kita. Ikhlas menjadi kata yang sangat mudah terucap untuk mengobati hati yang luka, kekecewaan, namun terkadang mudah terucap, sulit untuk berdamai dengan kata tersebut.
Ikhlas dapat digambarkan secara sederhana. Layaknya kita tengah membuang hajat. Kita tidak tahu kapan kita terakhir buang hajat, tidak pernah memikirkan berapa banyak kotoran yang kita keluarkan, hingga kita tidak mengharapkan kotoran itu dibawa, meski makanan yang baru kita makan adalah makanan mahal, disantap di restauran mewah. Itulah ikhlas. Begitu pula ikhlas dalam perbuatan baik. Ikhlas dalam berbuat baik berarti kita tidak akan pernah mengingat kebaikan yang telah kita buat, tidak bertujuan mencari pujian dari orang yang kita tolong, termasuk orang lain. Tidak mengharapkan balasan dari orang tersebut, kecuali balasan pahala dari Allah Swt.
Kita cermati Q.S Al-Ikhlas 1-4, Allah Swt berfirman:
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”
Dalam ayat tersebut, tidak ada sama sekali kata “ikhlas”, meski suratnya bernama “Al-Ikhlas”. Dari ayat pertama hingga ayat terakhir, terucap Allah, Allah, Allah. Seolah-olah, orang yang ikhlas adalah ketika seluruh perbuatannya hanyalah untuk Allah Swt, lillahi ta’ala. Meski tidak menjadi hits, tidak menjadi trending topic, tidak dikenal oleh penduduk bumi, bagi dirinya, itu bukanlah masalah. Karena yang menjadi fokus hidupnya adalah Allah. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus.
Keikhlasan inilah yang mendorong hidupnya selalu berusaha berpikir positif. Ber-khusnuzhan kepada apa yang telah menjadi takdirnya. Tugas dia sebagai makhluk adalah beribadah, berdoa dan berikhtiar. Dia senantiasa bertawakkal terhadap seluruh aktivitasnya tersebut. Menggantungkan harap dan hasil hanya kepada Allah. Apapun hasilnya, maka itu yang baik bagi dirinya. Meminimalkan keluhan, memperbanyak istigfar. Meski harus tertatih-tatih dalam melakukannya.
Untuk belajar ikhlas, nampaknya pesan Ali bin Abi Thalib r.a menjadi catatan bagi kita. Ia berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela” Supaya keikhlasan kita terjaga, nampaknya kita harus terus belajar bahwa seluruh amal baik yang kita lakukan benar-benar hanya ditujukan untuk Allah Swt. Tidak untuk mencari ketenaran dan pujian manusia.
Dalam bekerja pun sama. Ikhlas dalam bekerja, berarti ia harus profesional. Bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya. Bukan untuk mengejar kekuasaan dan jabatan, apalagi dengan cara sikut kanan-kiri, injak bawah dan jilat atas. Rajin dan giat bekerja bila ada atasan, sementara malas bila tidak ada yang melihat. Ia harus menyadari bahwa profesional dalam bekerja sejatinya bernilai ibadah. Bila ia lalai, tidak melayani publik secara optimal, maka secara sadar, ia akan berdosa. Seluruh aktivitasnya memiliki ruh, atau kesadaran bahwa Allah senantiasa akan melihat aktivitasnya.
Karenanya, ikhlas itu bukanlah opsi, bukan pula pilihan. Ia adalah keharusan. Setiap kita harus dipaksa untuk ikhlas, karenan ia akan rugi bila tidak ikhlas. Inilah yang diwanti-wanti oleh Ibnul Qoyyim, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.”
Pertanyaannya sampai kapan kita belajar ikhlas? Jawabannya adalah sampai ruh berpisah dari jasad, sampai malaikat maut menjemput kita. Maka, teruslah belajar ikhlas, teruslah mengeja ikhlas. Wallahu’alam bishshawab.