Islam sebagai sistem hidup (an nizham al hayah/mabda’) sejatinya menjamin kebahagian yang saat ini dicari oleh manusia seluruh dunia. Tidak seperti ideologi kapitalisme yang memandang kebahagian secara materi dan memuaskan hasrat duniawi, atau tidak seperti ideologi sosialisme yang mengatur dan bahkan membatasi kebahagiaan sebagai sesuatu yang sama rata dan dikelola secara rigid oleh negara, maka Islam membawa pemahaman yang unik tentang bahagia itu.
Bahagia adalah saat seorang mukmin memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya secara halal, tidak dengan cara-cara yang dilarang Allah Swt. Kaya harta boleh, namun kekayaannya itu ia dapatkan secara halal, tidak dengan menipu, menyuap, atau korupsi. Menjadi pejabat negara diperbolehkan dalam Islam, terlebih ia dapat amanah dalam mengurusi kepentingan publik. Namun saat pengaruh jabatannya digunakan untuk meraup kepentingan pribadi atau kelompok, demi rupiah atau dollar, maka fitnah jabatan terjadi. Jelas, hal ini akan memberatkan dirinya di hadapan Allah Swt. Sejatinya, cara-cara itu bukanlah jalan yang ditempuh untuk kebahagiaan. Bukan. Jika ia memaksa cara haram untuk menuju kebahagiaan, maka yang terjadi, kaya di dunia, namun sengsara di akhirat. Bahkan di dunianya pun, ia tidak merasa tenang dengan harta haramnya tersebut. Takut terbongkar, tertangkap dan berujung di sel besi. Menjadi aib dan aib tersebut ditanggung pula oleh sanak saudara.
Karenanya Islam memberikan ajaran qanaah (merasa cukup) dengan apa yang didapat. Imam Syafii rahimahullah menyebutkan dengan syair yang indah, “Jika engkau memiliki hati yang merasa cukup, maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia”. Maka, mindset muslim dalam melihat dunia adalah qanaah. Selain itu, ada satu hadist yang mengingatkan pada muslim perbandingan dunia dengan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Dunia ini dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Meski Islam memiliki pandangan unik tentang dunia, namun dalam upaya mendapatkan kebahagiaan dunia, Islam pun menjamin kesejahteraan umatnya. Diantaranya, Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja. Tentunya, bekerjanya seorang laki-laki dalam pandangan Islam berbeda dengan kapitalisme atau sosialisme yang hanya sekadar untuk kepentingan dunia. Islam, saat ia mewajibkan seseorang bekerja, maka itu berarti ibadah, berpahala. Sebagaimana yang Allah Swt sampaikan dalam ayat berikut. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (TQS. al-Baqarah: 233). Bahkan Islam melarang seorang muslim untuk menggadaikan harga dirinya dengan meminta-minta, sebagaimana dalam hadist berikut,
“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia diberi atau ditolak.” (HR. Bukhari & Muslim).
Namun demikian, ada beberapa pengecualian (dibolehkan untuk meminta) atas tiga kondisi sebagaimana dalam hadist Rasulullah saw, “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta itu tidak dibolehkan kecuali dalam salah satu dari tiga hal, yaitu : Seseorang (yang mendamaikan pertikaian antara manusia lalu) dia menanggung beban biayanya maka boleh baginya meminta hingga dia mendapatkannya kemudian dia berhenti dari meminta. Seseorang yang tertimpa bencana hingga musnah hartanya maka boleh baginya untuk meminta hingga dia mendapatkan hal yang bisa menopang hidupnya. Seseorang yang tertimpa kemiskinan yang sangat hingga 3 orang yang cerdik dari kaumnya berkata: telah menimpa orang itu kemiskinan yang sangat maka boleh bagi orang ini untuk meminta sampai dia mendapatkan hal yang bisa menopang hidupnya. Selain ketiga hal ini -wahai Qobishoh- meminta-minta itu termasuk memakan harta yang haram” (HR Muslim).
Seiring dengan itu, khalifah (kepala negara) harus hadir di tengah masyarakat untuk menjamin kesejahteraan warganya. Ia tidak boleh hadir pada saat menjelang pemilu atau tahun politik. Pengurusan masyarakat adalah amanah terberat yang dibebankan pada khalifah yang nanti akan Allah Swt tagih di padang Mahsyar. Setiap janji yang tidak tertunaikan, setiap kezhaliman yang dilakukan, akan ditanya dan setiap warga dapat mengadu kepada Allah Swt pada hari tersebut atas kebijakan-kebijakan zhalim sang penguasa. Setiap aduan warganya itu, di padang Mahsyar kelak, akan dibayar dengan diambilnya setiap amal shalih dari kepala negara tersebut hingga amal shalihnya habis. Bila sudah habis, maka dosa warganya akan ditransfer kepada kepala negara tersebut. Hingga ia menjadi orang yang disebut dalam hadist sebagai orang yang bangkrut. Naudzubillah min dzalik. Maka kebahagiaan bagi seorang muslim di dunia sejatinya bersambung dengan amal shalih yang akan berguna di akhirat kelak. Bila dunia kadang memberikan kekecewaan, maka bersabarlah, karena akhirat akan memberikan kepastian, termasuk kebahagian di dalamnya. Wallahu’alam bishawwab