Sukses adalah puncak. Ia diminati, diidamkan dan menjadi cita-cita siapapun. Lihat saja, betapa banyak rekan kita, anak-anak kita yang berucap, “Aku ingin sukses”. Entah, sukses macam apa atau dalam bentuk apa yang ia maksud. Apakah berpenghasilan milyaran, rumah megah, mobil mahal, kebebasan finasial atau karir tertinggi.
Siapapun dapat mendefinisikan sukses. Bisa dengan definisi di atas. Tapi juga dapat membuat sukses versi yang saat ini menjadi anti mainstream. Sukses menurut saya adalah mengucapkan Laa illahallah saat nafas terakhir. Husnul khatimah.
“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493).
Selayaknya puncak gunung, dengan tebing dan dataran tinggi yang harus di daki. Sedikit orang yang dapat mencapai puncak tersebut. Hingga, puncak gunung identik dengan sunyi. Mereka yang mencapai puncak, ditinggalkan oleh rekan seiring di kiri dan kanannya. Belum lagi lelah dan letihnya.
Sama halnya dengan mendaki ke puncak gunung. Menapaki alur sukses akhirat pun akan terasa sunyi. Tidak semenarik hiruk pikuk dunia. Mari kita lihat.
Di akhir pekan, jalan protokol macet. Pusat hiburan ramai, bioskop penuh. Orang berlalu lalang tiada henti dengan berbagai tujuan. Bagaimana dengan masjid? Apakah seramai dan sepenuh pusat perbelanjaan? Anda bisa menjawab sendiri. Ia sunyi, sepi.
Bahkan di penghujung Ramadhan yang Allah Swt janjikan Laylatul Qadr, fakta di lapangan, tidak seindah ceramah dan motivasi di televisi tentang meraih malam seribu bulan itu. Masjid-masjid masyarakat tetap kalah semarak dibandingkan pasar, terminal dan arus mudik. Sebagian peserta tarawih berpindah tempat menjadi peserta diskon lebaran. Konsentrasi lebih pada urusan dunia. Baju lebaran, ketupat hingga angpao untuk saudara. Sementara masjid, semakin sunyi. Hanya orang-orang sukses-lah yang menikmati kesunyian masjid. Itikaf, bermunajat, beristigfar, berdzikir dan melangitkan doa-doa taubat, agar ia benar-benar dikembalikan menjadi bersih. Fitri. Sayangnya, hanya sedikit orang yang memilih jalan ini.
Di jaman serba instan, dengan hiburan dunia yang sedekat sentuhan tangan pada screen handphone, tentunya menjadi tantangan lain generasi jaman sekarang. Ramainya dunia dengan segenap hiburan dan pernak-perniknya, sejatinya tidak menyurutkan kita untuk memilih jalan sunyi. Karena jalan sunyi inilah yang akan membawa kepada sukses dan kebahagiaan hakiki. Sementara ramai dunia, hanya fatamorgana yang sangat berbatas waktu. Seujung pendeknya nafas kita.
Selamat menikmati kesunyian.. Wallahu’alam bishshawwab