Melihat rekan kita membeli kendaraan baru. Promosi jabatan. Mendapat jodoh, rumah baru dan hal serupa lainnya, tak urung membuat kita iri. Ada perasaan “Kapan kita seperti mereka?”. Sementara, kita tetap seperti ini, dengan kendaraan lama, bekerja di posisi yang sama, rumah lama dan hal biasa lainnya.
Seringkali, orang tua kita memperparah keadaan. Membandingkan kita dengan anak paman atau koleganya, bahkan dengan kakak/adik kita sendiri. “Si Andi sudah dapat mengumrahkan orang tuanya. Kamu kapan?” atau “Abang kamu sudah punya pekerjaan tetap, membantu uang listrik, pulsa. Kamu kapan?”
Tak ayal, situasi ini membuat diri kita seperti nothing, useless. Tidak berguna dan berharga. Serasa ingin segera pindah posisi menjadi mereka. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa hal serupa terjadi pada orang-orang yang kita iri pada kehidupan mereka?
Rekan kita yang membeli kendaraan baru, bisa jadi iri terhadap temannya yang memiliki body shape atletis, sehat bugar. Sahabat kita yang dipromosikan ke jabatan lebih tinggi, mungkin iri dengan anak-anak kita yang lebih rajin dan penurut dibandingkan anaknya yang bandel dan malas. Bahkan, tanpa kita duga, bisa jadi rekan kita iri pada diri kita, karena masalah kita tidak sepelik rekan kita.
Dalam konteks dunia, mindset membandingkan kehidupan kita, apa yang kita miliki dengan orang lain, membuat kita tidak pernah bersyukur atas yang kita miliki. Tidak pernah menghargai sesederhana apapun yang kita punya. Bahwa rekan kita lebih baik pencapaian prestasi dunianya daripada kita, cukup ikhlaskan. Terima realita itu. Akui bahwa kita tidak bisa seperti dia.
Namun jangan berkecil hati. Kalahkanlah ia dengan prestasi akhirat. Bersainglah untuk amal pahala. Jika gaji kita kecil—tidak sebesar mereka. Maka besarkan sedekahnya. Jika rumah dia lebih luas, maka lapangkan hati kita untuk bersabar, luaskan maaf kita. Jika kita kalah kaya, perkaya jiwa, ilmu dan karya untuk bekal kita nanti.
Oleh karena itu, mengelola perasaan kita dalam hiruk-pikuk dunia dengan tidak membandingkan kehidupan, diri kita dengan orang lain. Setiap orang memiliki cerita hidup dan takdir rizki yang berbeda. Bandingkanlah diri kita yang lalu dengan kita hari ini. Tidak dengan orang lain!
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Barangsiapa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung. Barangsiapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah orang yang merugi. Dan barangsiapa hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia adalah orang yang terlaknat”
Jika kemarin, Anda hanya berinfak Rp. 2000, maka hari ini Anda harus meningkatkan infak Anda. Jika pekan lalu, Anda melewatkan membaca Al-Quran, maka pekan ini, Anda harus membaca minimal satu ayat pilihan Al-Quran. Bila Anda hari kemarin, tidak menambah shalat wajib dengan sunnah, maka besok, setelah shalat wajib, Anda tunaikan pula shalat Sunnah. Begitu seterusnya. Bandingkanlah diri kita yang lalu dengan sekarang. Niscaya kita akan beruntung. Wallahu’alam bishshawwab.