Secara alamiah, setiap manusia takut mati. Padahal ia pasti mati. Sudah menjadi sunnatullah. Hukum alam. Saat bayi lahir, menghirup oksigen. Ia teroksidasi. Setiap benda dan makhluk yang teroksidasi, pasti akan mengalami penurunan performa. Inilah keterbatasan yang Allah Swt ciptakan kepada makhlukNya. Ujung akhir dari semua keterbatasan itu adalah kematian.
Kematian itu sudah ada sejak Adam a.s diturunkan ke bumi. Ia pernah menghampiri semua manusia. Manusia terkuat dan sangat berkuasa seperti Namrudz, Firaun, Nebukanedzar, mati lebih dulu daripada kita sekarang. Manusia paling mulia yang dishalawati seluruh makhluk di bumi dan di langit, Rasulullah Saw pun wafat.
Tidak ada alasan kuat yang menegaskan bahwa kita dapat abadi. Kita pun pasti mati. Tinggal menunggu ajal menjemput di waktu yang telah Allah Swt tetapkan.
Lalu apa yang menyebabkan manusia mengalami takut mati? Jawabannya adalah cinta dunia. Fokus hidupnya adalah dunia. Mengumpul harta hingga lupa bahwa sejatinya kita akan pulang. Pulang ke tempat asal kita. Akhirat.
Manusia sejatinya adalah makhluk akhirat. Ini yang harus dipahami. Keabadian terjadi di akhirat. Bukan di dunia. Allah Swt, yang menciptakan kita, telah jauh-jauh hari menegaskan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia bukan untuk mengumpulkan harta. Bukan untuk mencari jabatan, ketenaran dan kekuasaan. Bukan untuk membangun istana megah atau perusahaan dan kekayaan yang tidak akan habis oleh tujuh turunan. Bukan itu. Tujuan manusia untuk beribadah. Beribadah pada Allah Swt. Tidak pada dzat lain selain Allah Swt.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepadaku.” (Q.S Adzariyat, ayat 56).
Memang, ibadah perspektifnya luas. Tidak hanya ritual (mahdhah) namun juga sosial. Ibadah ritual dibatasi oleh waktu dan rukunnya. Sedangkan ibadah sosial adalah aktivitas ketaatan kepada Allah Swt sebagai pengamalan ibadah ritual. Bekerja dari pagi hingga sore, bahkan malam, tidak hanya cukup diniatkan untuk Allah Swt. Namun dalam aktivitasnya, ia tidak melanggar aturan Allah Swt. Tidak curang. Tidak menjalankan bisnis, akad dan kegiatan haram, seperti korupsi, penipuan, suap, gratifikasi, mark up, berbuat curang. Bekerja sebagai penguasa, berarti ia adil, amanah dan menjalankan perintah Allah Swt dalam level jabatannya sebagai penguasa. Jadi aktivitas pekerjaan itu sejatinya adalah zikir kepada Allah Swt.
Seorang guru bekerja sebagai pendidik dan pengajar. Aktivitas mendidik dan mengajarnya itu adalah zikir kepada Allah Swt. Saat ia menulis, maka aktivitas menulisnya itu sejatinya zikir kepada Allah Swt. Begitu seterusnya. Maka, tidak mungkin bila aktivitas bekerja yang merupakan aktivitas zikir sebagai ibadah sosial, ia gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Swt. Tentu itu bertentangan. Tidak mungkin berzikir pada Allah Swt saat ia tengah bermaksiat.
Setan pasti tidak tinggal diam. Ia membujuk dari seluruh penjuru mata angin. Karena asyiknya bekerja, ia melupakan waktu shalat. Panggilan Allah Swt dikalahkan dengan pekerjaan. Sehingga kita mendatangi Allah Swt diwaktu sisa kita. Padahal siapa yang memberikan pada kita nikmat sehat, akal dan waktu, sehingga kita bisa bekerja. Kita melalaikan ibadah ritual (mahdhah) hanya karena rapat dengan pimpinan.
Godaan lainnya adalah jabatan. Kita memburu posisi itu untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Tanpa berpikir bahwa jabatan itu adalah fitnah. Karena dengan jabatan tersebut, bila kita tidak kuat, kita larut dan menjadi pencinta dunia. Sementara itu, jabatan adalah amanah yang akan menambah panjang daftar hisab kelak, belum lagi terbuka peluang-peluang untuk bermaksiat dengan jabatan tersebut.
Karena manusia adalah makhluk akhirat. Maka, batasilah kecintaan kita pada dunia. Agar kita hanya merindukan akhirat. Kurangi kesenangan terhadap dunia. Hindari berbagai hiburan, permainan dan apapun yang melupakan tempat akhir kita nanti.
Mengapa akhirat harus dirindukan? Karena di sana kita akan bertemu dengan Allah Swt Sang Pencipta kita. Tidakkah kita ingin bertemu dengan dzat yang kita sembah siang dan malam di seluruh usia hidup kita? Bila dengan orang tua atau anak saja, ada sebersit rasa rindu, mengapa dengan dzat yang menciptakan orang tua dan anak kita, tidak terselip rasa rindu untuk bertemu? Bila memang masih tidak ada rasa itu. Mulai saat ini, kita perlu belajar kembali untuk mencintai Allah Swt secara tulus. Secara ikhlas, hingga tidak ada dzat lain yang menjadi sandaran harap kita, selain Allah Swt. Wallahu’alam bishshawwab